ETOS KERJA
:الحمدلله ربّ العالمين والصّلاة والسّلام على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه أجمعين , أماّبعد
Alhamdulillah, pada kesempatan ini kembali kita dapat membahas tentang “Etos Kerja” . Semoga artikel ini dapat bermanfaat terutama buat pembuat blog ini dan pembaca semua. Selamat membaca dan mengamalkan.
Mukaddimah
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an,
dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan
yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal
soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati
kehidupan surga)
kekal di dalamnya untuk selamanya”(Qs. Al-Kahfi:1-3).
Al-Qur’an adalah pedoman bagi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan
kesesatan (Qs. Al-Baqarah: 185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (Qs. Al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan
untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang
sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan
memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (Qs. An-Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis,
maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (Qs. Al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji
seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata
karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam
kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan
sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah,
sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas
hidup manusia tidak tersesat (Qs.
Asy-Syura: 52).
Pembahasan
A.
Posisi Kerja
dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya
sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat
(derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun”
dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah.
Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat,
dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output)
yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam
16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan
hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk
menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”,
tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20
kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”,
disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan
bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan
akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai
contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (Qs. Al-Maidah: 90, Qs. Al-Qashash:15), perbuatan
yang sia-sia (Qs. Ali Imran: 22, Qs. Al-Furqaan: 23), pekerjaan
yang bercampur dengan keburukan (Qs. At-Taubah:102), pekerjaan
kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (Qs. An-Naml: 4, Qs. Fusshilat:
25).
Al-Qur’an
sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih,
memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa
hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja
dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja
dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja
adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status
hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini
pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa
diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggungjawaban
amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan
mempertanggungjawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung
memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif
atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin
terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam
konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan
kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada
toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran
kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap
aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
1.
Ikhlas,
yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang
berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan
akhir meraih mardhatillah (Qs. Al-Baqarah: 207 dan 265).
2.
Shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang
diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah
khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat
(ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Qs. Ali Imran:
31, Qs. Al-Hasyr: 10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan
pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau
tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan
yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot,
pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara
moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama,
berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif
secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan
skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer,
kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna
sebagai pelengkap.
B. Kualitas
Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan
fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya,
mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada
sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim
atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas
yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu
tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat
kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini
adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1.
Ash-Shalah
(Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan
yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi
nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun
kelompok. “Dan
masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang
dikerjakannya.” (Qs. Al-An’am:
132)
Ini adalah
pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an
menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar
adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material
dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata
merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari
agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu
bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun
tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung
secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat
meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak
perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2. Al-Itqan
(Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja
yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca:
Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88).
Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan,
yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan
pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan
umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan
latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau
menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan
memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas,
tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (Qs. Al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan
(Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan
mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan
berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka
pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar
setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik
dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan
mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya.
Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan
bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya.
Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin,
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang
lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang
lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika
membalas keburukan orang lain (Qs. Fusshilat
:34, dan Qs. An Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini
akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan
kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah
(Kerja
Keras dan Optimal)
Dalam
banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja
pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan
agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Qs. Ali Imran: 142, Qs. Al-Maidah: 35, Qs. Al-Hajj: 77, Qs. Al-Furqan: 25, dan Qs. Al-Ankabut:
69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang
didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”,
yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan
setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’,
yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Qs. Ibrahim: 32-33). Tinggal
peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara
optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah
atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban
setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh)
hasil akhirnya pada keputusan Allah (Qs. Ali Imran: 159, Qs. Hud: 133).
5. Tanafus
dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an
dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan
persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar”
atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka,
berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108).
Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah”
`bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya
adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat
kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Qs. Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan
“tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga
berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (Qs. Al-Muthaffifin:
22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang
paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling
taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos
persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh
karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan
ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling
mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan
dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (Qs. Al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih
banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan
karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6. Mencermati
Nilai Waktu
Keuntungan
atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap
imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib
disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih,
sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan.
Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya.
Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya
dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya
sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah
ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian,
terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil
Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau
sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap
orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian
dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti
gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan.
Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak
punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi
kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada
Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma
ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu
terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan
pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu
tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.”
(Kitab al-Amwal, 10)
Penutup
Jihad Sebagai Etos
Ruhul jihad
dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap
potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut
kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang
mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan
ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum
selesai (Qs. Ali Imran: 200).
Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang
begitu berharga; ketidak rofesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian
mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan
kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan
pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya.
Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (Qs. Al Baqarah: 188 )
Secara
teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar,
karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan
merupakan persoalanm hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya
masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum
tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan
ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang
Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya
dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di
sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil
semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam
adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung
tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan ruhul
jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan,
kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya,
sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik
Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (Qs. Al-Munafiqun: 8). Tanpa semangat jihad,
mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi,
bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Semangat
inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing,
demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin
dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka
dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan
budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin
hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS)
serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya
wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan
takut mati.
Profil
seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi
familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi
mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan
mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan
prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya
adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka
mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat
serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman.
Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan.
Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.
Posted by Murdani bin Abdul Wahab on Saturday, April, 22, 2017. 9:03 PM


