NYANYIAN CINTA
Nyanyian Cinta Part 1
by Habiburrahman El Shirazy
![]() |
Cairo memasuki musim semi. Pagi yang indah.
Langit yang cerah. Orang-orang menatap hari
dengan penuh gairah. Bgitu juga Mahmid. Ia
melangkah memasuki gerbang Universitas Al
Azhar dengan semangat membuncah. Fakultas Dakwah di
Nasr City demikian ia cintai. Ia
bayangkan hari yang indah penuh barakah. Mata
kuliah Sirah Nabawiyyah, Fiqih Dakwah, Fiqh
Al Muqaranah, Qiraah Sab’ah, Syaikh Fahmi Abdullah,
Syaikh Yahya Ash Shabrawi, Prof. Dr.
Abdul Aziz Abdih, teman-teman yang sesemangat,
seirama dan se-ghirah. Mencintai rasulullah
seutuhnya, tekad membaktikan diri sepenuhnya pada
agama Allah. Semuanya menjadi cahaya
dalam dada. Menjadi mentari bagi semangatnya.
“Sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Muhammad
saw. Telah dikenal sebagai orang
yang paling menjaga amanah di seantero kota Makkah.
Shingga beliau diberi gelar Al Amin.
Orang yang sangat bisa dipercaya. Orang yang sangat
menjaga amanah. Sifat inilah yang
semestinya dimiliki setiap muslim.”
“Menjaga amanah adalah ruh agama ini. Umur yang
diberikan Allah kepada kita adalah
amanah. Langkah kaki kita adalah amanah. Pandangan
mata kita adalah amanah. Hidup kita
adalah amanah. Menjaga amanah adalah inti ajaran
agama mulia ini. Rasulullah bersabda, Laa
diina liman laa amanita lahu. Tidak beragama orang
yang tidak menjaga amanah!…
Hari ini ia mendapatkan penjelasan yang dalam
tentang amanah, satu dari empat sifat utama
Rasulullh. Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh, Guru Besar
Ilmu Dakwah menguraikannya dengan
bahasa yang menghidupkan jiwa. Kampus tertua di
dunia ini tiada henti menempa generasi.
* * *
Pukul dua siang ia pulang. Naik bis menuju Ramsis,
ia menyewa sepetak kamar di sebuah
rumah tua di kawasan Ramsis. Kamar yang pernah
disewa sepupunya yang kini telah menikah
dan punya rumah di daerah Katamea. Tuan rumahnya
sangat baik. Tak pernah menagih uang
sewa kamar. Ia sendiri yang sering malu. Malu pada
diri sendiri dan tentu malu pada tuan rumah.
Pernah ia tidak bisa bayar sewa rumah enam bulan.
Dan pemilik rumah tak jua menagih. Kali ini,
sudah empat bulan ia belum bayar. Otaknya terus
berputar dari mana ia akan dapat uang.
Meminta orangtua yang sudah renta sangat tidak
mungkin.
Ia hanya selalu yakin bisa membayar. Allah
Mahakaya. Sudah tiga puluh lamaran ia
kirimkan ke tempat-tempat yang teriklankan di koran
Ahram membuka lowongan. Namun tidak
satu pun panggilan ia dapatkan, apalagi pekerjaan.
Sementara ini, untuk memenuhi kebutuhan harian, ia
berjualan buku-buku, majalah dan
kaset-kaset islami di depan masjid Ramsis. Ia tidak
bisa menggelar dagangannya setiap waktu.
Sebab harus berbagi dengan jam kuliah. Boleh dikata
ia punya kesempatan serius menjajakan
dagangannya hanya pada hari Jumat. Ketika kuliah
libur. Keuntungannya menjual buku tak
seberapa.
Ketika bis sasmpai Ramsis ia turun. Seperti biasa
ia langkahkan kakinya menuju masjid El
Fath. Ia ingin melepas penat, sambil meunggu Ashar
tiba. Ia masuk masjid. Terasa teduh.
Masjid-masjid di Cairo selalu meneduhkan. Ia pilih
sebuah tiang. Duduk, dan menyandarkan
punggungnya, ke tiang. Tas hitamnya ia lepas. Ia
letakkan di samping kanan. Kedua kakinya ia
selonjorkan. Perlahan matanya memejam, namun
pikirannya tetap melayang-layang. Dari mana
ia akan dapatkan uang. Dari mana ia akan bayar sewa
kontrakan. Ya Allah, mohon berikan aku
jalan.
Azan Ashar berkumandang. Ia bangkit. Harus segera
turun sebelum orang mulai banyak. Ia
harus buang air kecil dan ambil wudlu. Ia turun
menuju kamar kecil. Benar. Orang mulai banyak.
Belasan kamar kecil tertutup. Untung masih ada satu
yang terbuka. Kosong. Ia masuk. Ia tutup
pintunya. Di pintu ia temukan tas hitam kumal
tergantung.
“Ada yang lupa membawa barangnya.” Gumamnya.
Di mana-mana, di muka bumi ini, barang tertinggal
di kamr kecil sudah jamak dan biasa. Di
kamar kecil masjid Annur Abbasea ia pernah
menemukan kaca mata tertinggal. Di kamar kecil
masjid Sayyeda Zaenab ia pernah menemukan bungkusan
plastik hitam. Ternyata isinya dua kilo ikan tuna. Dan pemiliknya ternyata
seorang mahasiswa dari Indonesia yang baru saja belanja di pasar Sayyeda
Zaenab. Entah kenapa ia sering menemukan barang-barang yang tertingglal di
kamar kecil.
Ia ambil tas itu, lalu keluar dan berteriak ke arah
orang-orang yang sedang berwudlu, “Ada
yang merasa memiliki tas ini!”
Tak ada yang menjawab.
Sekali lagi ia berteriak, “Perhatian! Maaf, ada
yang merasa memiliki tas ini. Aku temukan
tergantung di kamar kecil nomor tiga belas.”
“Pemiliknya mungkin sudah naik ke atas.” Sahut
seseorang.
“Serahkan saja pada pengurus masjid. Siapa tahu
nanti pemiliknya mencari!” Sahut yang
lain.
“ Ya, serahkan saja pada pengurus masjid, biar
nanti setelah shalat diumumkan.”
“Baik.”
Ia langsung bergegas ke tempat pengurus masjid.
Menyerahkan tas itu dan ihwal
penemuannya. Pengurus masjid yang berjenggot lebat itu
tersenyum ramah dan berkata,
“Bukankah kau yang biasa berjulan buku di depan?”
“Benar paman.”
“Siapa namamu?”
“Mahmud. Lengkapnya Mahmud Ali El Kayyis.”
“Apa yang kau lakukan sangat tepuji. Sesuai dengan
namamu. Tidak semua orang yang
menemukan tas berusaha disampaikan yang berhak dan
yang berwenag mengurusinya.
Aku bangga padamu. Semoga Allah memberkahi
perbuatanmu, Anakku. Kau telah menunaikan
amanah, dan insya Allah akan kami tunaikan amanah
ini!”
Ia kembali turun untuk memenuhi hajatnya yang tertunda.
* * *
Usai shalat, pengurus masjid El Fath mengumumkan
perihal ditemukannya tas hitam. Jika
ada yang merasa memilikinya harap menemui imam
masjid.
Ia lega mendengar pengumuman itu. Berharap apa yang
dilakukannya berpahala. Apapun isi
tas itu, pasti yang punya merasa akan bahagia
mendapatkannya kembali. Seperti saat ia lupa
buku diktatnya tertinggal di masjid kampus. Ia
benar-benar lupa saat itu. Sebelum shalat ia
letakkan buku diktatnya di antara lemari tempat
penyimpanan mushaf. Usai shalat ia langsung
cabut pulang. Malamnya saat hendak membaca ulang
tidak ia dapati bukunya. Barulah ia ingat,
bukunya tertinggal di masjid. Ia sangat sedih. Buku
itu sangat berharga baginya. Bagi sementara
orang harganya mungkin murah. Tak seberapa. Tapi
bagi dirinya yang serba kekurangan, buku
itu sangat mahal. Sangat berharga. Pagi harinya ia
bersegera ke kampus langsung ke masjid. Dan tidak ia temui bukunya di atas
lemari. Ia sempat meneteskan airmata.
“Oh siapakah yang mengambil bukuku? Untuk apa?”
Ia coba beranikan bertanya pada seorang mahasiswa
yang biasa menjaga masjid. Mahasiswa
itu tersenyum dan berkata “Mari ikut saya!”
Mahasiswa itu mengajaknya masuk ke ruang pengurus.
Lalu mengambil sesuatu di rak.
Sebuah buku.
“Inikah bukumu itu?”
“Benar.” Jawabnya dengan penuh suka cita.
“Ambilah, Saudaraku. Apapun yang berada di rumah
Allah ini insya Allah aman.”
Ia sangat bahagia saat itu. Benar-benar bahagia. Ia
seperti terlepas dari kesulitan besar. Saat
ia memegang kembali bukunya ia merasa menjadi orang
paling bahagia diatas muka bumi ini.
Ia berharap pemilik tas itu juga akan merasakan hal
yang sama.
* * *
Hari berikutnya ia kembali kuliah. Dengan semangat.
Dan seperti biasa mampir di masjid
Ramsis untuk shalat Ashar. Usai shalat, pengurus
masjid mengumumkan bahwa kemarin
ditemukan tas hitam itu tergantung di kamar kecil.
Jika ada yang merasa memiliki boleh
menghubungi imam. Ia mafhum bahwa pemilikinya belum
mengembilnya. Namun ia sangat
lega, dengan mendengar pengumum itu ia jadi sangat
yakin bahwa orang-orang masjid sangat
bisa dipercaya, sangat bisa diandalkan
keamanahannya.
Usai shalat, ia bergegas ke kontrakannya. Ia ingin
menggelar dagangan bukunya. Bakda
Maghrib ada pengajian Syaikh Sya’rawi. Biasanya
jamaah membludak. Semoga di antara
mereka ada yang berminat membeli buku dagangannya,
terutama buku-buku yang ditulis Syaikh
Sya’rawi yang dikenal sangat merakyat dan dalam
ilmunya.
Begitu sampai kontrakan. Ia langsung mandi. Cepat
sekali. Ganti pakaian. Pakai minyak
wangi pemberian Rahmi, teman karibnya satu kampus
yang suka jual minyak. Dua kardus besar
ia letakan di kedua bahunya. Sebuah tikar plastik
ia selipkan antara kardus dan kepalanya. Terasa
sangat berat. Tapi inilah hidup. Inilah jihad. Dan
jika sudah terbiasa jadi terasa ringan-ringan
saja. Ia turuni tangga. Sebab kamarnya ada di
lantai tiga. Lalu berjalan melewati lorong-lorong
sempit. Menyusuri trotoar. Melewati deretan gedung
perkantoran. Sampai di depan Bank Ahli ia turunkan kardusnya. Ia kelelahan.
Setelah cukup ia lanjutkan perjalanan. Menyeberang
jalan. Sebuah sedan merah melaju
kencang. Nyaris menyerempet kaki kanannya. Ia
beristighfar sementara sopir sedan mengumpat-umpat tidak karuan. Empat menit
kemudian ia sampai di tujuan. Trotoar depan masjid El Fath Ramsis. Ia turunkan
pelan-pelan dua kardusnya. Ia gelar tikar. Lalu ia tata dan ia susun buku
dagangannya sedemikian rupa. Demikian juga kaset-kaset dan majalah. Buku-buku
Syaikh Sya’rawi ia susun semenarik mungkin di bagian paling depan. Sehingga
tampak menonjol dan memikat hati yang melihatnya.
Senja mulai pekat. Langit memerah di sebelah barat.
Lampu-lampu kota mulai menyala.
Orang-orang mulai deras berdatangan. Hatinya riang.
Sudah delapan buku yang terjual.
Semuanya buku fatwanya Syaikh Sya’rawi. Keuntungan
masing-masing buku tiga pound.
Sebelum Maghrib ia sudah dapat dua puluh empat
pound. Ia tersenyum.
“Alhamdulillah ya Rabb.” Pujinya pada Tuhan yang
memberi rejeki.
Ia lalu berharap jika Syaikh Sya’rawi tiap hari
memberi ceramah di masjid Ramsis. Atau ada
seratus ulama seperti Syaikh Sya’rawi, dan semuanya
menulis buku. Lalu semuanya memberikan ceramah masjid Ramsis, tempatnya
menggelar dagangan. Jika tiap hari ia bisa untung dua pukuh lima pound saja,
maka dalam satu bulan ia akan punya masukan paling tidak tujuh ratus lima
puluhan pound.
Dan itu sangat cukup untuk membayar sewa kamar,
makan, ongkos bis, dan buku. Bahkan ia
bisa menargetkan kapan menikah. Ah kenapa ia
tiba-tiba berpikir menikah.
“Ya Kapten, lau samah, bikam syarith dzai?”1
Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia
mengarahkan matanya ke asal
suara. Hatinya bergetar sesaat.
BERSAMBUNG
Nyanyian Cinta Part 2
by Habiburrahman El Shirazy
“Ya Kapten, lau samah, bikam syarith dzai?”1
Suara seorang perempuan membuyarkan lamunannya. Ia
mengarahkan matanya ke asal
suara. Hatinya bergetar sesaat. Di hadapannya
seorang gadis berparas elok berjilbab putih
berjongkok sambil memegang sebuah kaset. Ya, kaset
ceramah Syaikh Sya’rawi berjudul: Al
Mar’ah Ash-Shalihah. Satu detik matanya beradu
dengan mata gadis itu. Ia menangkap
kecantikannya.mata yang bundar dan bening. Muka
yang bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya.
Ia segera menahan matanya, mengalihkannya ke kaset
yang di pegang gadis itu.
“E… sab’ah junaihat.”2
“Ghali awi!”3
“La ya anisah, hadza jaded.”4
“Arba’ah mumkin?”5 Gadis itu menawar.
“Musy mumkin, afwan.”6
“Khamsah la azid.”7
“Masyi.”8
Gadis itu mengambil kaset dan memasukannya ke dalam
tas, lantas mengeluarkan lima
pound. Ia mengambil uang itu seraya mengucapkan,
“Terima kasih, Nona.”
Setelah gadis itu berlalu ia raba hatinya. Masih
ada getaran. Ia jadi berpikir, kenapa ia baru
mengangankan nikah, tiba-tiba langsung ada gadis di
hadapannya. Gadis yang membuat hatinya
bergetar. Apakah ini tanda-tanda.
“Ah, astaghfirullah, aku tak mau dijebak setan!”
cepat-cepat ia menolak
pikirannya.bukankah sudah tidak terhitung gadis
berjilbab yang membeli dagangannya? Di
antara mereka bahkan banyak yang lebih cantik dari
gadis tadi. Kenapa tiba-tiba ia harus
bergetar, harus merasa sesuatu yang lain?
Saat Maghrib tiba masjid telah penuh. Ia merasa
tidak perlu masuk masjid. Cukup
menggelar koran dan ikut shalat jamaah di samping
dagangannya. Usai shalat Syaikh Sya’rawi
memberikan ceramahnya. Berkali-kali tasbih dan
kalimat tauhid terdengar gemuruh dari para
pendengar. Di tengah-tengah asyiknya mendengarkan
ceramah. Sambil sesekali melayani
pembeli tba-tiba seorang lelaki berjenggot bermuka
ramah mendatanginya. Lelaki itu tak lain
adalah salah satu pengurus masjid El Fath.
“Apa kabarmu Nak? Laris?”
“Alhamdulillah, saya baik. Rejeki hari ini juga
baik.”
“Syukur kalau begitu. E, begini Nak….”
“Ya, Paman. Ada apa?”
“Ada yang punya perlu denganmu. Jika kau tidak
keberatan. Habis shalat Isya datanglah ke
kantor pengurs masjid.”
“Perlu apa ya kira-kira, Paman?”
“Insya Allah baik untukmu. Bisa?”
“Insya Allah, Paman.”
* * *
Syaikh Sya’rawi memberikan siraman penyejuk jiwa
sampai Isya. Beliau juga mengimami
shalat Isya. Acara ceramah beliau disiarkan
langsung ke seluruh penjuru Timur Tengah oleh
sebuah stasiun televisi. Usai shalat, Mahmud sibuk
dengan para pembeli bukunya. Semua buku
tulisan Syaikh Sya’rawi ludes. Kaset ceramah beliau
tersisa tiga. Buku-buku yang lain juga
banyak dibeli. Ketika masjid mulai sepi, ia
mengemasi dagangannya.
“Ini sungguh hari yang penuh keberuntungan.”
Katanya pada diri sendiri. Separo bukunya
terjual. Ia menaksir keuntungannya hari itu
kira-kira seratus empat puluh pound.
“Lumayan, bisa untuk menyelamatkan muka. Bisa untuk
membayar sewa kamar dua bulan.”
Gumamnya pada diri sendiri.
Setelah mengikat kardusnya ia melangkah ke masjid.
Ia bawa barang dagangannya ke
masjid. Ia letakkan di balik pintu masuk, lalu
menuju salah satu ruang yang digunakan sebagai
kantor para pengurus. Di sana ada beberapa orang
yang berkumpul. Ia mengetuk pintu memberi salam. Yang ada di situ serentak
menjawab salam. Sekilas ia kitarkan pandangan. Tak ada Syaikh Sya’rawi. Mungkun
telah diantar pulang.
“Nak Mahmud, silakan duduk.” Lelaki berjenggot
bermuka ramah mempersilakan duduk.
“Terima kasih.” Jawabnya. Ia lalu duduk di kursi
yang masih kosong.
“Diakah pemuda itu?” Seorang lelaki setengah baya
berwajah bersih tiba-tiba berkata sambil
memandang kearah Mahmud.
“Benar, dialah orangnya.” Jawab lelaki berjenggot
bermuka ramah.
Mahmud yang merasa dirinya jadi obyek pembicaraan
spontan bertanya,
“Kalian membicarakan aku?”
“Iya Nak Mahmud. Seperti yang saya sampaikan bakda
shalat Maghrib tadi. Ada orang yang
perlu denganmu. Ceritanya begini, bapak ini adalah
Tuan Ragib Ali Ridhwan Hamid Ghazali.
Beliaulah pemilik tas hitam yang kautemukan. Beliau
ingin berterima kasih padamu.” Lelaki
berjenggot bermuka ramah menjlaskan.
“Benar Nak Mahmud. Saya sangat berterima kasih
padamu. Sebagai rasa terima kasih, saya
ingin memberikan sesuatu padamu. Nilainya mungkin
tidak seberapa tapi semoga menjadi tanda
syukur. Karena siapa yang tidak berterima kasih
pada manusia dia tidak berterima kasih kepada
Allah.” Kata lelaki setengah baya berwajah bersih
bernama Ragab itu.
Mahmud belum sempat mengucapkan sepatah kata, namun
Tuan Ragab telah berdiri dan
mengulurkan amplop kepadanya. Dengan spontan Mahmud
menolaknya seraya berkata,
“Sebentar Tuan Ragab. Kemarin itu saya hanya
menunaikan amanah karena Allah. Itu saja.
Itu sudah menjadi kewajiban saya sebagai seorang
muslim. Jadi, rasanya tidak semestinya saya
menerima yang berlebih. Tidak perlu berterima kasih
atas sebuah kewajiban. Bersyukurlah pada Allah.”
“Iya. Kau benar. Tapi tolong terimalah tanda terima
kasih saya padamu Nak. Terima kasih
saya atas amanah yang kautunaikan.” Desak Tuan
Ragab.
“Maaf, janganlah Tuan memaksa saya untuk menerima
sesuatu sebagai imbalan kewajiban yang harus saya
tunaikan.
Tolong, saya hanya melakukan karena Allah. Tolong.
Saya sampaikan empati saya atas sikap
Tuan yang hendak berterima kasih pada saya. Saya
terima ungkapan terima kasihnya. Tapi tidak untuk sesuatu yang hendak Bapak
berikan pada saya. Sekali lagi jangan paksa saya!”
Tuan Ragab memandang kepada lelaki imam masjid yang
hanya dengan diam saja sejak
tadi. Sang imam mengisyaratkan dengan gelengan
kepala dan telapak tangannya agar dia jangan
memaksa.
“Baiklah aku tak bisa memaksa. Tapi apakah kau tahu
isi tas hitam itu?” kata Tuan Ragab.
Mahmud menggelengkan kepala seraya berkata, “saya
sama sekali tidak membukanya.”
“Aku percaya kamu tidak membukanya karena isinya
masih utuh semua. Untung kamu tidak
membukanya, kalau kamu membukanya setan mungkun
akan memperdaya kamu agar kamu
tidak menunaikan amanah dengan sebenar-benarnya.
Lihatlah Nak Mahmud, ini isinya.”
Tuan Ragab lalu mengeluarkan isi tas hitam.
Pertama-tama koran bekas yang telah lecek.
Bungkusan plastik hitam. Sebuah kantong kain
berwarna hijau tua. Buku agenda. Dan sebuah
pena hitam yang ujungnya kuning keemasan.
“Kelihatannya tak ada yang istimewa kan? Tapi ini
adalah setengah perjalanan hidupku.”
Kata Tuan Ragab. Dia lalu mengambil bungkusan
plastik hitam dan mengeluarkan isinya. Dua
bundel dollar Amerika.
“Jumlahnya tiga puluh ribu dollar.” Kata Tuan
Ragab. Ia lalu meraih kantong hijau tua dan
mengeluarkan isinya: seuntai kalung emas permata
dengan bandul permata mulia berwarna
merah tua yang sangat indah.
“Ini nilainya tiga ratus ribu dollar. Baru saya
beli dari Madrid untuk hadiah keberhasilan
putriku semata wayang menghafalkan Al-Quran.”
Tuan Ragab lalu beralih ke buku agendanya.
Agendanya itu berkancing. Ia buka dan ia
pegang selembar kertas seraya berkata dengan mata
berkaca-kaca,
“Ini cek dari seorang kolega di Port Said. Nilainya
tujuh ratus tujuh puluh lima ribu pound.
Inilah isi tas hitam lusuh ini Nak Mahmud, apakah
aku tidak pantas memberikan sesuatu padamu sebagai ungkapan terima kasih.”
Semua yang hadir di ruangan itu diam dan takjub.
Semua baru tahu isi sebenarnya tas hitam
kumal itu. Imam masjid dan pengurus masjid saat
memeriksa tas itu hanya membuka agendanya.
Mencatat keterangan yang ada di biodata di halaman
depan. Yang tertulis hanya nama pemilik,
tanggal lahir. Tidak ada alamat dan keterangan yang
lainnya.
Mereka tidak sampai memeriksa beberapa berkas yang
ada di agenda itu. Juga tidak
memeriksa isi kantung hijau tua dan bungkusan
plastik. Begitu ada yang mengaku memiliki tas
itu. Mereka mengujinya dengan menanyakan kartu
identitas. Ketika nama dan data dalam kartu
identitas sama dengan yang tertulis di dalam buku
agenda dan bisa menyebutkan isi tas secara
umum. Maka mereka percaya dialah pemiliknya. Dan
memang sejak diumumkan tidak ada satu
orang pun yang mengaku. Sampai datang Tuan Ragab
menanyakan kepada pengurus masjid
perihal tas hitam kumalnya yang tertinggal saat
buang air kecil.
“Allah yang mengatur semua. Alhamdulillah saya bisa
mengamalkan ilmu dan menunaikan
amanah. Saya ingin murni karena Allah. Jangan paksa
saya,” Kata Mahmud lirih.
“Jadi kau benar-benar tidak ingin menerima amplop
ini?”
“Jangan paksa saya, saya mohon.”
“Aku sungguh bangga padamu Nak Mahmud. Baiklah aku
tidak akan memaksa lagi. Namun
aku tetap ingin mengungkap-kan rasa syukurku.
Kepada yang hadir di ruangan ini saksikanlah
aku sedekahkan cek senilai tujuh ratus tujuh puluh
lima ribu pound untuk anak yatim dan fakir
miskin. Pengelolaannya saya serahkan pada pengurus
masjid. Pahalanya semoga terlimpahkan
pada semua orang beriman yang menunaikan amanah
dengan benar.”
Kata-kata Tuan Ragab membuat hati yang hadir di
ruangan itu bergetar. Mahmud bersyukur
dalam hati bahwa ia bisa mempertahankan prinsipnya.
Di akhir pertemuan Tuan Ragab
membagikan kartu namanya. Saat bersalaman dengan
Mahmud beliau mencium kening anak
muda itu sebagai tanda cinta dan penghormatan.
* * *
Hari berikutnya Mahmud menceritakan apa yang
dialaminya dengan Tuan Ragab perihal tas
hitam kumal itu pada kawannya Ramhi. Dan Ramhi
menanggapinya dengan emosi,
“Emang sewa kamarmu sudah kau lunasi!?”
“Belum.” Jawab Mahmud.
“Kau sungguh bodoh! Sok suci! Sok ikhlas! Miskin
tapi sok kaya! Apa sih beratnya
menerima tanda terima kasih. Mungkin itu bisa jadi
modal kamu usaha. Kamu itu sungguh
manusia aneh. Bayar sewa kamar saja nunggak
berbulan-bulan tapi sok
malaikat. Sok tidak butuh uang. Dasar kolot, tolol,
bahlul,
primitif! Sini berikan padaku kartu namanya biar
aku cari Tuan Ragab itu dan aku ambilkan
bagianmu.”
Mahmud menggelengkan kepala.
“Kenapa tidak?!” Sengit Ramhi.
“Lelaki sejati tidak akan menjilat ludahnya!”
“Bah! Dasar prtimitif kolot! Jika kau masih
mem-pertahankan kekolotan prinsip-prinsipmu
di era global seperti ini, kau tidak akan survive!
Kau akan binasa terlindas realitas!”
“Allah bersama orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”
Dengan muka kesal Ramhi meninggalkan Mahmud sambil
bergumam,
“Semoga kau dapat petunjuk wahai manusia lugu yang
kolot!”
BERSAMBUNG
*** NB: 1 Kapten, maaf, berapa harga kaset ini?
2 Tujuh pound.
3 Mahal sekali.
4 Tidak nona, ini baru.
5 Empat, mungkin.
6 Tidak mungkin, afwan.
7 Lima (pound), tak akan aku tambah.
8 Okay.
Nyanyian Cinta Part 3
by Habiburrahman El Shirazy
Bumi terus berputar. Matahari terus terbit di
timur dan tenggelam di barat. Tak pernah
berhenti. Hari berganti hari. Setelah empat
tahun kuliah Mahmud berhasil menyelesaikan
kuliahnya di Fakultas dengan nilai mumtaz. Ia
terpilih sebagai terbaik pertama di angkatannya.
Selesai kuliah ia tidak pulang kampung, tapi
mencoba bertahan di Cairo. Ia sangat ingin lanjut
pascasarjana. Namun ia merasa perlu kemapanan
ekonomi.
Suatu hari di awal musim dingin ia pergi ke
kampus.ia kangen dengan kampus. Ia ingin
menemui beberapa teman satu angkatannya yang belum
lulus sambil refresing menyegarkan
pikiran. Di pintu gerbang ia berpapasan dengan
Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh. Mahmud
menyalaminya dengan penuh takzim.
“Mahmud, sudah dua minggu ini aku mencarimu. Nanti
jam satu siang datanglah ke ruang
kerjaku.”
Kata-kata Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh itu sangat
menyejukkan hatinya. Jika ia dicari-cari
seorang guru besar yang sangat mencintai Allah dan
Rasul-Nya seperti beliau maka itu suatu
keberkahan. Suatu tanda akan datangnya
kebaikan-kebaikan.
“Insya Allah, Doktor.” Jawabnya singkat.
Tepat jam satu kurang tiga menit ia masuk ruang
kerja Prof. Dr. Abdul Aziz Abduh dengan
terlebih dahulu mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam. Duduklah Mahmud! Kau tepat
waktu Mahmud. Aku senang.”
“Ada yang bisa saya bantu Doktor?”
“Begini Mahmud, aku mau bertanya padamu, mau tidak
kamu mengamalkan ilmumu?”
“Tentu Doktor. Bukankah ilmu harus diamalkan?”
“Mau tidak kamu berjuang dan berdakwah?”
“Tentu doctor. Itu adalah kewajiban seorang
muslim.”
“Rasanya aku tidak salah memanggil kamu. Begini,
ada sebuah daerah di pelosok selatan
Mesir yang sangat membutuhkan seorang dai. Maukah
kamu diutus ke sana. Sebagai utusan
resmi Al Azhar. Semua biaya Al Azhar yang
menanggung. Kau juga akan dapat gaji. Kau tidak
selamanya di sana. Hanya dua tahun. Setelah itu kau
akan aku usahakan dapat beasiswa untuk
lanjut S2. bagaimana?”
Mendengar penjelasan Prof. Dr. Abdul aziz Abduh,
hati Mahmud gerimis.
“Saya wakafkan diri saya untuk dakwah, Doktor.
Untuk dakwah saya siap ditempatkan dan
diutus di mana saja.”
“Aku bangga mendengarnya, Anakku. Bersiap-siaplah.
Surat-suratnya akan aku urus. Minggu depan kamu
berangkat, insya Allah. Dan ingat kamu
berangkat ke medan dakwah yang tidak ringan.”
“Mohon doanya, Doktor.”
“Hayyakallah ya Bunayya.”9
“Amin.”
* * *
Minggu berikutnya, setelah menempuh perjalanan panjang
dari Cairo ke Asyyut dengan
kereta dan disambung dengan angkot sampailah Mahmud
ke sebuah desa. Turun dari angkot ia
masih harus berjalan kaki setengah kilo untuk
mencapai perkampungan di mana dia ditugaskan.
Begitu sampai ia langsung rumah imam masjid.
Seorang petani memberi petunjuk,
“Datangilah rumah yang bercat hijau. Di halamannya
ada seekor keledai sedang ditambat.
Dari sini kira-kira seratus meter. Setelah kebun
korma.”
Ia bergegas ke sana. Dengan mudah ia temukan rumah
itu. Ia ketuk pintu. Seorang lelaki tua,
berumur tujuh puluhan keluar. Ia berbincang
dengannya penuh takzim, menjelaskan
kedatangannya dan menyerahkan surat tugas. Lelaki
tua itu mempersilakan masuk rumahnya,
menyambutnya dengan penuh suka cita, “Alhamdulillah
surat permohonan saya ke bagian dakwah Al Azhar dikabulkan. Saya sangat
bahagia. Saya berharap kau betah di desa ini dan bisa jadi penerang di desa
kami.”
“Kalau boleh tahu siapa nama Imam?”
“Ah, sebenarnya saya merasa tidak pantas menjadi
imam. Bacaan Al-Quran saya masih
belum benar. Karena tidak ada yang lain jadi
terpaksa saya menjadi imam. Nama saya Raghib.
Nanti bakda shalat Maghrib kau akan kukenalkan pada
jamaah masjid. Setelah itu kau akan
kuajak berkunjung ke rumah para pemuka masyarakat
desa ini. Mereka semua pasti akan senang dengan keberadaanmu di sini.”
“Semoga Allah memudahkan semuanya.”
Sejak hari itu mulailah perjuangan dakwah Mahmud
benar-benar merasakan beban yang
tidak ringan. Masyarakat di desa itu masih ada yang
buta huruf. Masih ada yang belum bisa baca Al-Quran. Masih banyak yang belum
mengerti ajaran Islam dengan benar.selama ada di desa itu, ia diangkat menjadi
imam menggantikan Pak Raghib yang menjadi imam sementara. Ia menjadi rujukan,
tempat bertanya masalah agama. Bahkan masalah sosial. Masyarakat begitu percaya
padanya sebagai lulusan Al Azhar di Cairo. Anak-anak juga sangat lekat padanya.
Mereka antusias belajar Al-Quran padanya.
Seringkali Mahmud membuat acara yang sangat
mengasyikan bagi mereka. Kematangannya ketika aktif
di kepanduan sebelum masuk kuliah
sangat berharga.
Genap satu tahun, Mahmud seolah menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari masyarakat
desa itu. Pengajian umum yang ia buka di masjid
setiap hari Jumat pagi dihadiri oleh ribuan orang. Tidak hanya masyarakat dessa
itu namun juga desa-desa sekitarnya.
Namun lazimnya sebuah dakwah, tidaklah mulus begitu
saja. Sudah beberapa kali nyawanya
terancam oleh mereka yang merasa keberadaan Mahmud
sangat membahayakan mereka.
Mereka sebuah mafia kecil yang secara diam-diam menanam
ganja di tengah-tengah kebun
mereka. Mereka adalah bagian dari jaringan
pengaedar narkotika di kawasan Mesir Selatan.
Ulah mereka belum terendus pihak kepolisian.
Kehadiran Mahmud yang berpendidikan dianggap sangat membahayakan. Beberapa kali
Mahmud hendak dilenyahkan namun gagal.
Mafia kecil itu terus mencari cara membinasakan
imam muda ini. Akhirnya mereka sepakat
untuk menghabisi Mahmud dengan rekayasa dan fitnah.
“Begini, agaknya imam muda ini banyak disukai
anak-anak gadis. Kita manfaatkan hal ini
untuk membinasakannya. Kita pernah dengar dulu di
Bani Israel ada seorang ahli ibadah yang
namanya Barshisha. Dan ia hancur karena perempuan.
Bagaimana kalau kita gunakan cara setan itu untuk membinasa- kan imam muda
ini.” Seorang anggota mafia berambut keriting
mengajukan usul.
“Boleh. Riilnya bagaimana?” Ketua mafia menyahut.
“Begini Bos,” Kata lelaki berambut keriting, “Saya
telah amati kegiatan imam muda itu dua
minggu penuh. Juga saya bertanya banyak hal
tentangnya ke para penduduk. Imam muda itu
punya pengajian rutin Tafsir Jalalin di masjid tiap
hari malam Ahad. Tempatnya di masjid
selatan desa. Dia pulang dan pergi tidak pernah
sendirian. Jadi kalau kita gunakan kekerasan
justru berbahaya.”
“Terus gimana membinasakan dia?” Sahut sang ketua
tidak sabar.
“Begini Bos, kita fitnah dia. Penduduk desa ini
paling anti dan paling murka terhadap orang
yang mengotori anak gadisnya. Saya dapat informasi
ada seorang anak gadis yang sangat suka
apa saja asal dapat imam muda ini. Setahu saya,
imam muda ini
sampai di rumahnya dari pengajian Tafsir Jalalain
jam setengah dua belas malam. Kita akan
manfaatkan Sadia. Kita seolah membantu Sadia, namun
Sadia harus ikut skenario kita. Dan harus menjaga rahasia. Begitu Bos.”
“Lha terus riil memanfaatkan Sadia itu gimana,
Keriting?”
“Begini Bos, saat si imam muda itu pergi mengaji
Tafsir Jalalain, diam-diam dengan cara
yang tidak diketahui orang kita datangi rumah imam
itu lewat belakang. Kita ajak Sadia ikut
serta. Kita congkel pintu belakang, kita minta
Sadia masuk dalam rumah imam itu. Sadia harus
bersembunyi. Ketika imam itu nanti pulang dan tidur
pulas. Sadia harus tidur di samping imam
itu. Satu ranjang kalau perlu dengan pakaian yang
tampak acak-acakan. Saat itulah kita grebek,
kita kerahkan orang kampung. Pada saat kita grebek
Sadia harus memeluk imam muda itu kuatkuat, menangis dan menjerit-jerit. Dengan
demikian hancurlah imam muda itu. Ia akan dilempari batu seperti anjing kurap
oleh seluruh penduduk kampung. Akan diusir.”
Sang ketua manggut-manggut mengerti.
“Apa Sadia mau. Pasti mau bos. Dia sudah masuk
perngkap kita. Sekarang dia sudah ikut
pakai ganja sebab kakaknya juga bagian dari
kelompok kita.”
“Bagus. Segera jalankan rencanamu dengan matang.
Ajak dan provokasi para pemuda yang
tidak suka dengan imam sok suci itu!”
* * *
Sore itu Mahmud asyik membuat acara permainan
dengan anak-anak di sebuah kebun
korma. Tiba-tiba seorang anak berteriak,
“Imam… imam itu ada ular!”
Mahmud langsung melihat ke arah yang ditunjuk si
anak. Ya ada seekor ular cobra yang
sangat berbahaya. Ia minta anak-anak menyingkir. Di
kepanduan ia pernah belajar mengatasi
ular. Sepuluh menit kemudian Mahmud telah berhasil
meringkus ular itu dengan kain yang ia
gunakan untuk tikar.
“Jangan takut ini ularnya sudah tertangkap.”
Anak-anak gembira.
“Imam memang hebat. Di sini belum pernah ada
seorang pun yang berani menangkap ular
cobra. Kepala desa yang dulu meninggal katanya
karena dipatuk ular cobra.” Kata anak yang tadi berteriak.
Sore itu kabar imam muda menangkap ular cobra langsung
tersiar ke seluruh penjuru desa.
Seorang petani separo baya mendatangi Mahmud dan
menasihati,
“Imam, jangan main-main dengan cobra. Lebih baik
langsung di bunuh saja!”
“Saya tidak main-main kok, Paman. Ular ini sengaja
tidak saya bunuh sebab besok pagi saya
ingin membawanya ke dokter untuk diambil serumnya.
Serum itu bisa jadi obat jika kelak ada
penduduk desa ini digigit ular berbisa ini. Jangan
kuetir, Paman.”
Setelah faham petani itu tersenyum dan minta diri.
Mahmud memasukkan ular itu ke dalam
kantong goni lalu mengikatnya dan meletakannya di
ruang belakang rumahnya.
Setelah Maghrib, Mahmud membaca tafsir yang akan
dia sampaikan untuk pengajian rutin.
Bakda Isya ia berangkat ke masjid selatan desa
untuk menyampaikan pengajian.sementara
kelompok mafia mulai menjalankan rencananya.
Sebagian mereka sudah mampu menyebar
fitnah dan meyakinkan sebagian penduduk desa bahwa
si imam muda itu tak lain adalah seekor srigala busuk. Imam muda itu telah
mengotori desa dan menodai kesucian gadis desa, di antara korban yang sedang
dalam cengkeramannya adalah Sadia.
Sebagian yang lain ada yang menyebar desas-desus ke
kalangan ibu-ibu. Mereka minta ibuibu
melihat apa yang akan terjadi malam nanti. Malam
nanti akan ketahuan siapa sebenarnya
imam muda yang selama ini dipuji-puji itu.
Di sebuah rumah, Sadia telah siap dengan segala
fitnahnya.
“Suratku tak pernah ditanggapinya. Malam ini imam
sok suci itu akan tahu siapa Sadia. Dia
akan tunduk di telapak kakiku.” Gumamnya.
Tepat pukul sepuluh Sadia dan lelaki berambut
keriting berhasil masuk rumah Mahmud
lewat pintu belakang. Sadia berpakaian setengah
telanjang. Ia benar-benar sudah kehilangan rasa malunya. Di luar rumah ketua
mafia bersiaga penuh dengan beberapa anak buahnya. Beberapa anak buah yang lain
bertugas membawa para pemuda pada saat yang tepat.
Tepat pukul sebelas Mahmud pulang diantar oleh
seorang pemuda. Setelah pemuda itu
pamit, Mahmud masuk rumah. Ia tidak masuk ke
kamarnya tapi duduk di ruang tamu. Ia belum
mengantuk. Ia ingin membaca Fiqhus Sunnah yang
ditulis oleh Sayyid Sabiq.
Sastu jam kemudian, terdengar teriakan yang sangat
gaduh di luar rumahnya. Teriakan itu
mencaci-maki dirinya. Pintu rumahnya digedor dengan
sangat keras.
“Ayo seret imam pezina itu!”
“Telanjangi Mahmud serigala itu! Arak dia biar jadi
pelajaran!”
BERSAMBUNG
Nyanyian Cinta Part 4
by Habiburrahman El Shirazy
Belum sempat ia beranjak
dari tempat duduknya, pintu itu telah terbuka. Didobrak. Mahmud
berdiri kaget. Kitab Fiqhus Sunnah masih ditangannya. Orang-orang masuk dengan
marah. Yang paling depan adalah ketua mafia. Mata Mahmud beradu dengan matanya.
Ketua mafia agak gentar, tidak seperti yang direncanakn. Tidak ada suara
merengek atau tangis Sadia. Ke mana Sadia? Namun ia tidak kehabisan akal. Ia
langsung menggertak.
“Di mana Sadia
kausembunyikan, Bangsat!”
Mahmud tidak gentar, “Siapa
Sadia?”
“Jangan sok tidak tahu.
Sadia yang kauzinai setiap malam!”
Mahmud kaget, “Apa zina?
Aku mezinai Sadia? Astagh-firullah. Na’udzubillah. Jangan
sembarangan kau bicara! Menuduh zina adalah kriminal!”
Jangan banyak bacot.
Langsung seret saja pemuda ini. Sadia adalah korbannya ia telah
menodai gadis lugu itu. Ayo seret dia!”
Para pemuda yang emosi
langsung bergerak memegang tangan Mahmud. Mahmud melawan
dengan menampar mereka. Terjadi pergulatan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras,
“Berhenti!
Ada apa ini?”
Ternyata suara kepala desa.
Di belakangnya ada beberapa orang polisi. Rupanya kepala desa
mencium gerakan para pemuda. Ia ingin menegakan hukum, siapa pun yang salah
harus diadili
sesuai hukum, makanya ia mengundang polisi. Sebelum Mahmud angkat bicara, ketua
mafia
angkat bicara dan meluncurkan tuduhan dan fitnahnya. Panjang lebar, dan dengan
suara sangat
meyakinkan,
“Beberapa kali aku melihat
dia dan Sadia berbuat mesum!”
Mahmud emosi, “Dia bohong!
Dia memfitnah! Ini fitnah!”
“Aku bahkan pernah melihat
tengah malam Sadia menutup
jendela kamar rumah ini, dalam keadaan telanjang dada dan di belakangnya si
jahannam ini
mendekapnya mesra!” cerocos ketua mafia.
“Sudah diam kamu Bandot!
Tuduhan kamu harus kamu buktikan!” Bentak kepala desa.
“Akan aku buktikan! Aku
yakin Sadia sedang terlelap di salah satu ruangan di rumah ini
setelah dibius srigala ini! Ayo kita geledah!” Sahut ketua mafia mantap.
Ia bergerak. Beberapa orang
bergerak. Pak kepala desa, dua polisi dan Mahmud mengikuti.
Mahmud hanya pasrah kepada Allah. Kamar pertama digeledah, tak ada apa-apa.
Kamar kedua juga. Kamar ketiga, yang tak lain kamar tidur Mahmud digeledah.
Dengan sangat teliti. Almari dibuka. Kolong ranjang diteliti tak ada apa-apa.
Wajah ketua mafia merah. Ia marah. Dalam hati ia mendesis, “Di mana kau Sadia?
Kurang ajar kamu! Kamu telah mempermainkanku. Awas aku cincang kamu!”
Ketua mafia itu lalu
mengajak menggeledah ke ruang belakang yang tak lain adalah dapur
dan kamar mandi. Ruang belakng itu gelap. Beberapa orang menyorotkan senternya.
Sinar senter itu menerangi ruangan. Di atas lantai orang-orang terkesima dengan
pemandangan yang mereka lihat. Dua orang anak manusia lain jenis diam tak
bergerak dalam posisi yang sangat memalukan.
Tubuh keduanya telanjang.
“Itu Sadia!” teriak seorang
pemuda.
“Lha itu yang menidihnya
siapa?” Tanya seseorang.
Kepala mafia pucat.
“Itu si kerempeng. Anak
bejat dari kampung utara!”
Polisi melihat keduanya.
“Inna lillahi wa inna ilahi
raaji’un. Keduanya sudah tidak
bernyawa. Ada gigitan ular di kaki kedua manusia jalang ini. Kata polisi itu.
Kepala desa langsung berkata pada ketua mafia, dan ia tidak tahu kalau yang ia
ajak bicara
adalah seorang ketua pengedar narkotika,
“Hai Bandot, berarti kau
salah lihat. Yang berbuat mesum bersama sadia itu bukan Mahmud.
Tapi si pemuda keriting ini. Saya tahu persis siapa Mahmud. Sejak dia datang
sampai sekarang
saya tahu persis akhlaknya. Memang rumah ini sering ditinggalkannya kalau malam
untuk
mengisi pengajian. Jadi sering kosong. Kelihatannya itu dimanfaatkan dua
manusia itu. Karena
mereka merasa aman melakukannya di sini. Tapi Allah tidak ingin membiarkan hal
ini berlanjut
terus.”
“Ya aku bersaksi Mahmud
bersih dari tuduhan keji itu. Kenyataan di depan mata kita telah
membuktikannya. Memang sejak satu minggu ini ada yang menyebar desas-desus
tidak sedap
tentang imam muda kita. Dan malam ini semuanya jelas.” Sahut seorang ibu-ibu
yang ikut
menyaksikan kejadian itu.
Dalam hati Mahmud bersyukur
telah selamat dari fitnah. Ia merasa ada makar yang ingin
mencelakainya di balik kejadian menggegerkan desa malam ini, dan Allahlah yang
menggagalkan.
Penduduk desa, juga Mahmud
tak ada yang tahu, apa yang dilakukan Sadia dan Pemuda
Keriting setelah masuk rumah Mahmud. Setan telah membakar nafsu mereka berdua
di tempat
gelap itu karena pengaruh ganja yang mereka hisap. Tangan pemuda itu tidak
sadar membuka
ikatan karung goni yang berisi ular saat sedang berasyik masyuk. Saat jantung
berdegup
kencang. Tanpa mereka sadari ular itu memaruk kaki mereka.
Jantung terus berdegup.
Racun mematikan pun menyebar dengan cepat. Dan tamatlah riwayat
mereka berdua. Makar yang mereka buat membinasakan mereka sendiri.
* * *
Peristiwa malam itu berbuntut panjang. Kakak Sadia yang juga anggota mafia
kecil itu tidak
bisa teerima atas kematian adiknya. Ia tahu persis adiknya adalah korban dari
makar busuk ketua mafia.
Diam-diam ia mendatangi
kantor polisi dan membocorkan rahasia yang selama ini ia
pendam. Ia juga mendatangi kepala desa, dan membocorkan semua yang ia tahu,
termasuk makar fitnah untuk membinasakan sang imam muda, Mahmud, pada malam
itu.
Polisi bergerak cepat.
Seluruh anggota mafia di desa itu dan desa-desa sekitarnya di tangkap.
Bahkan jaringan yang lebih besar di Mesir selatan segera digulung. Kepala desa
mengum-pulkan warganya dan menjelaskan lebih detil tentang makar fitnah itu.
Penduduk desa semakin
mencintai Mahmud.
Tak terasa sudah sembilan
belas bulan Mahmud berdakwah di desa itu. Sudah cukup banyak
perubahan. Anak-anak sudah fasih baca Al Quran. Para orang tua sudah memahami
isi aqidah
Thahawiyyah, Fiqh Sunnah, dan inti risalah Islam. Sebuah balai serba guna
didirikan di samping
masjid.
Tiga bulan lagi tugasnya
usai. Ia ingin kembali ke Cairo dan melanjutkan S2. Ia hendak
menyampaikan hal itu pada kepala desa, agar tidak mengejutkan kepergiannya.
Usai shalat
Maghrib ia membicarakn hal itu pada kepala desa dan beberapa pengurus
masjid, termasuk Pak Raghib yang sangat dihormati. Apa yang ia sampaikan
ditanggapi dengan
keharuan dan tetesan airmata. Kepala desa berkata dengan mata berkaca,
“Kami sangat mencintaimu
Nak Mahmud. Kami sebenarnya ingin Nak Mahmud tinggal di
sini. Atau lebih lama di sini. Namun semua kembali pada Nak Mahmud. Kami tidak
bisa dan
tidak berhak memaksa. Namun ada satu permintaan kami yang kami sangat berharap
Nak
Mahmud tidak menolaknya.”
“Apa itu?” Tanya Mahmud.
“Bicaralah Paman Raghib.”
“Begini Nak Mahmud. Saya
punya cucu. Satu-satunya. Tidak cucu langsung, tapi cucu
kakak saya yang telah meninggal karena kecelakaan, setengah tahun sebelum kau
datang kemari.
Akulah satu-satunya
keluarganya. Aku sudah tua. Sejak kecil ia hidup di desa ini. Sejak kecil.
Meski ayah-ibunya tinggal di kota Thanta, ia tinggal di sini. Bersama kami.
Karena ia memang
dilahirkan di sini. Setiap dibawa ke Thanta ia sakit. Tapi jika dibawa ke sini
ia sembuh.
“Boleh dikata cucu saya
itu, menurut pengakuan orang-orang di desa ini adalah gadis
tercantik dan terpandai. Dialah satu-satunya gadis yang menghafal Al-Quran.
Menghafal Al-
Quran dengan kemauannya sendiri. Cucu saya ini juga bisa dikatakan orang paling
kaya di desa
ini. Selain mewarisi kekayaan ayahnya di Thanta, ia juga mewarisi kekayaan
kakeknya, yaitu
kakak saya. Tanggung jawab saya adalah menikahkannya dengan pemuda yang saleh,
bertakwa,
berilmu dan bertanggung
jawab. Saya merasa kau sangat tepat. Saya berani menjamin ia gadis
yang salehah. Sekarang sedang kuliah di Al azhar Banat, Cairo, tahun kedua. Ini
permohonan
saya. Dan saya berharap tidak kamu tolak. Saya akan sangat merasa aman jika dia
dalam
naungan lelaki saleh sepertimu.”
Perkataan Pak Raghib
membuatnya kaget dan terkesima. Lidahnya susah digerakkan. Ia
diam. Semua yang ada dalam pembicaraan itu diam. Suasana hening sesaat.
Akhirnya ia berhasil menggerakan lidah dan bibirnya,
“Sa… saya akan istikharah
dulu.”
* * *
Tiga kali ia istikharah.
Setiap kali istikharah ia tidur. Dan dalam tidur selalu bermimpi
membaca Al Quran surat Ar Ruum ayat 21. Ia sangat yakin, itu ilham agar ia
segera menikah.
Akhirnya ia menyampaikan jawaban ‘menerima tawaran itu’ pada Pak Raghib.
Jawaban
Mahmud menerbitkan airmata haru lelaki itu.
Minggu berikutnya diadakan
acara ta’aruf antara Mahmud dan cucu Pak Raghib itu. Acara
dihadiri kepala desa. Mahmud hanya bisa menunduk dengan hati dan jantung
berdebar-debar.
Darah mudanya meluap. Ia penasaran. Seperti apa rupa gadis yang katanya paling
pilihan di desa ini.
Istri Pak Raghib
mengeluarkan minuman dan makanan. Gadis itu tidak ikut keluar. Setelah
berbincang-bincang cukup lama. Pak Raghib berkata,
“Ya Hafshah keluarlah!”
Tak lama kemudian seorang
gadis berjilbab panjang putih bersih keluar. Iaduduk di samping
istri Pak Raghib.
“Nak Mahmud, ini Hafshah
cucuku.” Kata Pak Raghib.
Mahmud mengangkat muka ke
arah wajah gadis itu. Si gadis juga melakukan hal yang sama.
Dan….
Subhanallah! Ia teringat
peristiwa dua tahun yang lalu. Peristiwa di musim semi, saat ia
berjualan buku. Gadis ini bukankah? Ya, persis! Mata yang bundar dan bening.
muka yang
bersih dengan tahi lalat di dagu kirinya. Si gadis agaknya juga kaget. Cukup
lama mereka
berpandangan.
“Agak aneh. Apa kalian
pernah saling kenal?” Pak Raghib menangkap gelagat. Gadis itu
diam. Mahmud mencoba mengingat kejadian itu. Ia bergumam,
“Masjid El Fath, Ramsis.
Kaset Syaikh Sya’rawi berjudul: Al Mar’ah Ash-shalihah.”
Gadis itu tiba-tiba menyambung lirih,
“Ya kapten, lau samah,
bikam syarith dza?
E….sab’ah junaihat!
Lu ya anisah, hadza jaded.
Arba’ah mumkin?
Musyi mumkin, afwan.
Khamsah la azid.
Masyi.”
Mahmud terhenyak, gadis itu
masih ingat dialog tawar menawar kaset itu dua tahun yang
lalu. Sebelum Mahmud bicara gadis itu menjelaskan dengan detail pertemuan dua
tahun yang
lalu. Pertemuan yang setelah itu tidak bertemu lagi kecuali saat ta’aruf itu.
Paman Raghib dan semua yang
hadir mafhum. Ia lalu membahas lebih dalam. Hafshah dan
Mahmud sama-sama rida. Hari pernikahan pun ditentukan.
* * *
Musim semi yang penuh
barakah. Pagi yang indah. Langit yang cerah. Orang-orang menatap
hari dengan penuh gairah. Begitu juga Hafshah dan Mahmud. Pagi hari Jumat itu
berlangsung
akad nikah di desa bersuka cita. Anak-anak mendendangkan lagu kebahagiaan dan
cinta.
Rumah tua yang ditempati Mahmud ternyata adalah rumah tempat Hafshah dulu
dilahirkan.
Rumah itu telah direnovasi. Dicat kembali. Kamar pengantin dihias indah dan
wangi.
Malam usai shalat Isya Mahmud masuk kamar. Sang isteri telah menanti. Kali ini
tidak
berjilbab. Mahmud terhenyak ketika melihat kalung permata yang dipakai Hafshah.
Kalung emas permata dengan bandul permata mulia berwarna merah tua yang sangat
indah. Ia memandangi kalung itu lama sekali.
Hafshah heran dan bertnya,
“Ada apa denganmu, Suamiku?
Kenapa wajahmu pucat dan matamu berkaca-kacaa saat kau
melihat kalung permata ini?”
Mahmud berkaca-kaca, dan
berkata,
“Jika mataku tidak silap.
Aku pernah melihat kalung mutiara ini dua tahun yang lalu.
Pemiliknya mengatakan kalung ini dibeli dari Madrid untuk hadiah putri semata
wayangnya
yang baru hafal Al-Quran.”
Mendengar hal itu Hafshah terisak.
Ia teringat cerita ayahnya almarhum. Terbata- bata ia
berkata,” Jadi kaukah yang menemukan tas hitam lusuh di kamar kecil masjid Al
Fath itu?
Kaukah yang menolak pemberian tanda terima kasih dari pemiliknya itu?”
Mahmud kaget, “Kau tahu
peristiwa itu? Dari mana kau tahu peristiwa itu?”
“Kau ingat nama Ragab Ali
Ridhwan Hamid Ghazali.”
“Ya. Itu pemilik tas itu?”
“Beliau adalah ayahku.”
“Ayahmu?”
“Ya.”
“Subhanallah. Ketika namamu
disebut dalam akad nikah Hafshah binti Ragab Ali Ridhwan
Hamid Ghazali. Aku tidak pernah berpikiran nama pemilik tas hitam lusuh itu.
Sebab betapa
banyak nama Ragab di Mesir ini.”
“Hari itu aku datang ke
masjid El Fath bersama ayah. Aku asyik melihat buku-buku. Ayah
yang bertanya ke pengurus masjid. Ketika ayah bilang tasnya telah ditemukan
masih utuh aku
sangat bahagia. Sementara ayah menunggu di masjid bakda shalat Isya, aku
memilih langsung
istirahat ke hotel. Setengah sepuluh ayah masuk hotel sambil menangis. Aku
bertanya pada ayah
ada apa. Ayah menjawab, ‘Yang menemukan tas ayah yang sangat berharga ini
adalah seorang
pemuda yang sangat menjaga keikhlasan dan sangat menjaga amanah. Aku akan
merasa bahgia
jika Allah berkenan menjodohkan dirimu dengannya.’ Suamiku, apakah kautahu apa
yang
kulakukan saat mendengar perkataan ayah itu?”
“Aku tak tahu? Apa yang
kaulakukan?”
“Dalam hati aku berdoa
kepada Allah, jika pemuda itu memang benar-benar saleh dan
menjaga amanah semoga kelak ia benar-benar menjadi jodohku. Dan Allahu akbar!
Allah
mengabulkan doaku.”
“Allahu akbar. Saat itu aku
menolak amplop pemberian ayahmu. Dan ternyata Allah
menyiapkan yang lebih berharga dari itu.”
“Ya. Aku dan segala yang
kumiliki sekarang ada dalam kuasamu.”
“Aku merasa musim semi ini
benar-benar penuh barakah.”
Hafshah mendekat dan
meletakkan kepalanya dalam dada Mahmud. Sesaat, suasana haru
dan indah memenuhi kamar pengantin. Kedua makhluk Allah itu larut dalam rasa
syukur yang
dalam dan panjang.
* * *
TAMAT
*** Tag dan share ke
keluarga, sahabat dan teman-temanmu yach....
******




Tidak ada komentar:
Posting Komentar