Agar Anak Mencintai Ilmu
by Murdani Abdul Wahab
Perumpamaan orang yang mempelajari ilmu pada waktu kecil adalah seperti memahat batu, sedangkan
perumpamaan mempelajari ilmu ketika dewasa adalah seperti menulis di atas air. (HR
ath-Thabrani dari Abu Darda’ ra.).
Dalam sejarah, tidak
ditemukan suatu agama yang mendorong pemeluk-nya untuk memberikan pengajaran
kepada anak-anak seperti Islam. Islam menjadikan seorang Muslim memiliki
antusiasme yang sangat tinggi untuk belajar dan mengajar. Antusiasme inilah
yang menjadikan mereka sangat isimewa sepanjang sejarahnya yang panjang.
Apalagi bagi mereka, menuntut ilmu adalah ibadah yang paling utama, yang bisa
dijadikan media untuk mendekatkan diri kepada Alllah.
Masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur untuk melakukan pembinaan
keilmuan dan pemikiran. Pada masa ini daya tangkap dan daya serap otak mereka
berada pada kemampuan maksimal; dada mereka lebih longgar dan lebih hapal
terhadap apa yang mereka dengar. Abu Hurairah ra. meriwayatkan secara marfû’,
bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): Siapa yang mempelajari
al-Quran ketika masih muda, maka al-Quran itu akan menyatu dengan daging dan
darahnya. Siapa yang mempelajarinya ketika dewasa, sedangkan ilmu itu akan
lepas darinya dan tidak melekat pada dirinya, maka ia mendapatkan pahala dua
kali. (HR al-Baihaqi, ad-Dailami, dan al-Hakim).
Agar para orangtua dapat mengarahkan anak melangkah menuju ilmu, belajar,
serta mencintai ilmu dan ulama, ada beberapa hal penting yang harus ditempuh:
1. Tanamkan bahwa menuntut ilmu adalah perintah Allah Swt.
Kecintaan anak kepada Allah, yang seyogyanya sudah terlebih dulu
ditanamkan, akan memunculkan ketaatan pada perintah-Nya dan takut akan
azab-Nya, termasuk dalam menuntut ilmu. Cinta dan takut kepada Allah akan
memunculkan sikap konsisten dalam mencari ilmu tanpa bosan dan dihinggapi rasa
putus asa.
2. Tanamkan bahwa al-Quran adalah sumber kebenaran.
Al-Quran sebagai sumber kebenaran (QS al-Maidah [5]: 48) sejak awal harus
disampaikan oleh orangtua kepada anak. Semua yang benar menurut al-Quran itulah
yang harus dan boleh dilakukan. Ini memerlukan keteladanan orangtua. Dengan
begitu, anak akan melihat realisasi al-Quran sebagai sumber kebenaran dalam
setiap perilaku orangtuanya. Begitu pula ketika menilai suatu keburukan,
semuanya dinilai dengan standar al-Quran.
3. Ajarkan metode belajar yang benar menurut Islam.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam kitab As-Syakhshiyah
al-Islâmiyyah jilid 1, bahwa Islam mengajarkan metode belajar yang benar,
yaitu:
a)
Mempelajari
sesuatu dengan mendalam hingga dipahami apa yang dipelajari dengan benar.
b)
Meyakini ilmu
yang sedang dipelajari hingga bisa dijadikan dasar untuk berbuat.
c)
Sesuatu yang
dipelajari bersifat praktis, bukan sekadar teoretis, hingga dapat menyelesaikan
suatu masalah.
Dalam mempelajari alam semesta, misalnya, dikatakan secara teoretis bahwa
bulan mengelilingi bumi. Untuk menjadikannya sebagai pemahaman yang mendalam
haruslah anak diajak melihat fakta bulan, yang dari hari ke hari berubah bentuk
dan besarnya. Dengan demikian, anak pun menjadi yakin bahwa perubahan tanggal
setiap harinya adalah karena peredaran bulan. Dengan begitu, ia dapat
mengetahui bahwa menentukan tanggal satu Ramadhan, misalnya, adalah dengan
melihat bulan.
4. Memilihkan guru dan sekolah yang baik bagi anak.
Guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam
jiwa dan pikiran mereka. Guru adalah sumber pengambilan ilmu. Para Sahabat dan Salaf
ash-Shâlih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak
mereka.
Ibnu Sina dalam kitabnya, As-Siyâsah, mengatakan, “Seyogyanya
seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama,
piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan
tangan dan dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya.”
Imam Mawardi (dalam Nashîhah al-Mulûk hlm. 172) menegaskan urgensi
memilih guru yang baik dengan mengatakan, “Wajib bersungguh-sungguh di dalam
memilihkan guru dan pendidik bagi anak, seperti kesungguhan di dalam memilihkan
ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dari itu. Seorang anak akan mengambil
akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya melebihi yang diambil dari
orangtuanya sendiri.”
Begitupun memilihkan sekolah yang baik yang di dalamnya diajarkan hal-hal
yang tidak bertentangan dengan agama, apalagi yang merusak akidah anak-anak
Muslim. Banyak orangtua memilih sekolah untuk anaknya sekadar agar anak dapat
memperoleh ilmu dan prestasi yang bagus, tetapi lupa akan perkembangan
kekokohan akidah dan akhlaknya.
Namun demikian, tentulah guru yang paling pertama dan utama adalah
orangtuanya, dan sekolah yang paling pertama dan utama adalah rumah tempat
tinggalnya bersama orangtua.
5. Mengajari anak untuk memuliakan para ulama.
Abu Umamah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang
artinya): Ada tiga manusia, tidak ada yang meremehkan mereka kecuali orang
munafik. Mereka adalah orangtua, ulama, dan pemimpin yang adil. (HR
ath-Thabrani).
Ulama
adalah pewaris para nabi. Memuliakan dan menghormati mereka, bersikap santun
dan lembut di dalam bergaul dengan mereka, adalah di antara adab yang harus
dibiasakan sejak kanak-kanak. Memuliakan ulama menjadikan anak akan memuliakan
ilmu yang diterimanya, yang dengannya Allah menghidupkan hati seseorang. Abu
Umamah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang
artinya): Sesungguhnya Luqman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, engkau
harus duduk dekat dengan ulama. Dengarkanlah perkataan para ahli hikmah, karena
sesungguhnya Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah,
sebagaimana Dia menghidupkan bumi yang mati dengan hujan deras.” (HR
ath-Thabrani).
6. Membiasakan
seluruh keluarga membaca dan menghapal ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi saw.
Dalam
membina akidah anak, mengajarkan al-Quran dan Hadis Nabi saw. adalah hal yang
utama dalam membentuk mentalitas anak. Keduanya merupakan sumber untuk
menghidupkan ilmu yang akan menyinari dan menguatkan akal. Para Sahabat ra.
sangat berambisi sekali mengikat anak-anak mereka dengan al-Quran. Anas bin
Malik ra., setiap kali mengkhatamkan al-Quran, mengumpul-kan istri dan
anak-anaknya, lalu berdoa untuk kebaikan mereka.
Pada masa
Rasulullah saw. masih hidup, Ibnu Abbas ra. telah hapal al-Quran pada usia
sepuluh tahun. Imam Syafii rahimahullâh telah hapal al-Quran pada usia
tujuh tahun. Imam al-Bukhari mulai menghapal hadis ketika duduk dibangku
madrasah dan mengarang kitab At-Târîkh pada usia 18 tahun.
7. Membuat
perpustakaan rumah, sekalipun sederhana.
Mempelajari
ilmu tak akan lepas dari kitab ataupun buku-buku sebagai media referensi yang
senantiasa akan memenuhi kebutuhan ilmu. Keberadaan perpustakaan rumah menjadi
hal yang sangat penting untuk mengkondisikan anak-anak seantiasa dekat dengan
ilmu dan bersahabat dengan kitab-kitab ilmu.
Imam
asy-Syahid Hasan al-Banna dalam Risâlah-nya, Sarana Paling Efektif
dalam Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Islam yang Murni,
mengatakan, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam rumah,
sekalipun sederhana. Koleksi bukunya dipilihkan dari buku-buku sejarah Islam,
biografi Salafus Shâlih, buku-buku akhlak, hikmah, kisah perjalanan para
ulama ke berbagai negeri, kisah-kisah penaklukan berbagai negeri, dan
semisalnya….”
8. Mengajak anak menghadiri
majelis-majelis kaum dewasa.
Nabi saw. pernah menceritakan bahwa beliau ketika masih kecil juga turut menghadiri
majelis-majelis kaum dewasa. Beliau mengatakan: “Aku biasa menghadiri
pertemuan-pertemuan para pemuka kaum bersama paman-pamanku….” (Diriwayatkan
oleh Abu Ya’la dengan sanad sahih dalam Musnad-nya [2/157] dan oleh
Ahmad [1/190]).
Dengan membawa anak-anak ke majelis orang dewasa, akalnya akan meningkat,
jiwanya akan terdidik, semangat dan kecintaannya kepada ilmu akan semakin kuat.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []


Tidak ada komentar:
Posting Komentar